Jumat, 08 April 2011

MASALAH POKOK DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

MASALAH POKOK DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

A. Dualisme Kepemimpinan / Peraturan
Dualisme kepemimpinan yang sesungguhnya tidak dikehendaki dalam alam demokrasi. Tugas dan kewenangan pemerintahan yang mengatur urusan publik, seperti sistem politik dan birokrasi pemerintahan, penegakan hukum, keuangan dan moneter, sistem pertahanan dan keamanan adalah urusan publik yang tidak kebal dari pengawasan institusi demokrasi yang rasional.
Pemimpin adalah salah satu unsur dari sebuah sistem. Unsur lainnya adalah peraturan dan ketaatan. Peraturan dalam konteks sistem non-manusia adalah Standard Operating Procedure (SOP). Ruang lingkup sebuah sistem bisa bervariasi. Sistem metabolisme sebuah virus bisa jadi adalah sebuah sistem terkecil. Ataukah ada yang lebih kecil dari itu. Sistem galaksi bisa dikatakan yang terbesar. Mungkinkah ada yang lebih agung darinya. Sebuah sistem bisa jadi merupakan subsistem dari sistem lainnya. Di sisi lain, sebuah sistem bisa menjadi sebuah supersistem dari sebagian sistem lainnya.
Berbicara tentang sistem memang tidak akan pernah ada habisnya. Tentang pemimpin saja sebagai satu unsur dari sebuah sistem diperlukan kajian yang luas dan mendalam. Tapi hal ini tentunya tidak boleh menyurutkan semangat kita. Karena pada prinsipnya, jika tidak bisa mengambil semuanya, maka janganlah tinggalkan semuanya.
Kali ini ingin mengungkapkan pemikiran tentang dualisme kepemimpinan. Idealnya, dalam sebuah sistem hanya ada seorang pemimpin. Karena pemimpin inilah yang bertanggung jawab memastikan jalannya sistem tetap pada koridornya. Dialah yang mengarahkan pengikut mengarah ke tujuan. Lantas, bagaimana jika dalam sebuah sistem terdapat dua pemimpin? Hal ini tidak bisa diterima. Karena dua pemimpin berarti dua pemikiran yang akan mengarahkan pengikut ke dua tujuan. Dan hal ini tidak boleh terjadi dalam sebuah sistem yang baik.
Apa jadinya jika Tuhan memiliki kuantitas lebih dari satu? Tentu sistem kehidupan akan bergejolak, mempertahankan arah masing-masing. Apa yang terjadi jika dalam sebuah rumah tangga, suami dan istri sama-sama merasa jadi pemimpin? Mau dibawa kemanakah bahtera rumah tangga? Lihat saja apa yang terjadi pada sebuah partai politik yang saat ini terpecah menjadi dua kubu, karena keduanya mempertahankan pemimpin masing-masing. Contoh yang lain, ah, terlalu banyak contoh kasus dualisme kepemimpinan. Beginilah jika setiap orang keukeuh mempertahankan kepemimpinannya ketika bukan saatnya menjadi pemimpin. Kita sepakat, bahwa setiap diri adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Minimal pemimpin bagi diri sendiri. Tapi dalam lingkup kehidupan sosial, kita harus pandai menempatkan posisi yang tepat pada waktu yang tepat. Kita tidak akan mungkin selamanya menjadi pemimpin. Ada saatnya kita menjadi yang dipimpin.
Kepemimpinan itu sebuah hierarki. Dia bertingkat. Seorang pemimpin pasti memiki pemimpin. Kondisi inilah yang saat ini sering tidak kita pahami. Di saat seharusnya menjadi pengikut, ego pribadi menuntut diri untuk menjadi pemimpin. Di saat harus memimpin, keyakinan diri mengkerut sehingga hilanglah kewibawaan. Ketika momentum itu tidak kita pahami, maka terjadilah fenomena dualisme kepemimpinan. Kita memang harus lebih banyak belajar. Kapan saatnya menjadi pemimpin, bila waktunya menjadi yang dipimpin.

Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik.
Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent.

Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukanya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.


B. PENDUDUK DAN KEMISKINAN
Di republik yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini, dua problem utama belum bisa dibereskan: kemiskinan dan pengangguran. Jumlah rakyat miskin per Maret 2008 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen) atau turun dari angka pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen) (Data Susenas BPS Maret 2008). Data ini diperoleh sebelum pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 28,7 persen pada Mei 2008, yang diperkirakan menambah angka kemiskinan hingga 8,5 persen.
Dalam kriteria yang lebih ketat, penduduk miskin Indonesia menurut World Bank mencapai 108.7 juta orang (49%) (Data World Bank 2006). Perbedaan jumlah ini muncul dari perbedaan alat ukur dan cara menghitung. BPS menggunakan kriteria yang lebih longgar. Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang rata-rata penghasilannya di bawah standar pemenuhan kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal (kilo kalori) atau sekitar Rp 152.847 per kapita per bulan. Sementara World Bank menggunakan standar internasional: penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per hari sebesar US$2 atau kurang.
Angka pengangguran juga belum bisa ditekan. Menurut BPS, jumlah pengangguran terbuka per Februari 2008 mencapai 9.4 juta (8.5 persen) dari 111,46 juta angkatan kerja (Data Sakernas BPS Februari 2008). Jumlah ini lebih dua kali lipat dari penduduk Singapura yang sekitar 4 juta. Memang, dibandingkan data survei Sakernas BPS pada Februari 2007, jumlah ini turun 1,1 juta orang dari jumlah pengangguran sebelumnya yang mencapai 10.55 juta (9.75 persen). Klaim penurunan ini dipertanyakan para ahli, sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bertumpu pada sektor padat karya (labour intensive) yang menyerap banyak tenaga kerja seperti pertanian dan perkebunan, tetapi memusat di sektor konsumsi, sektor nonperdagangan, dan sektor-sektor padat modal seperti telekomunikasi dan pasar modal. Klaim ini juga berasal dari definisi kerja dan pengangguran yang terlalu longgar dari BPS.
Menurut BPS, pengangguran adalah orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam 1 minggu. Mereka yang bekerja 1 jam atau lebih dalam 1 minggu tidak bisa digolongkan sebagai menganggur, meskipun hasil pekerjaannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Negara lain umumnya menggunakan ukuran minimal 15 jam seminggu untuk tidak dianggap sebagai menganggur. Tidak heran, menurut survei Sakernas, jumlah setengah pengangguran meningkat dari 27,9 juta pada 2004 menjadi 30,6 juta orang bulan Februari 2008. Dari klaim pertumbuhan sebesar 6,3 persen, tertinggi selama 10 tahun terakhir, penyerapan tenaga kerjanya relatif rendah. Struktur ketenagakerjaan menunjukkan sektor informal menyerap 69 persen angkatan kerja dan hanya 31 persen yang terserap di sektor formal. Dari 9,4 juta kategori pengangguran terbuka, 4,5 juta di antaranya berasal dari lulusan SMA, SMK, diploma, dan universitas.
C. IKLIM DAN GEOGRAFIS
Perubahan iklim global merupakan malapetaka yang akan datang! Kita telah mengetahui sebabnya - yaitu manusia yang terus menerus menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas bumi.
Kita sudah mengetahui sebagian dari akibat pemanasan global ini - yaitu mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran, coral bleaching dan gelombang badai besar. Kita juga telah mengetahui siapa yang akan terkena dampak paling besar - Negara pesisir pantai, Negara kepulauan, dan daerah Negara yang kurang berkembang seperti Asia Tenggara.
Selama bertahun-tahun kita telah terus menerus melepaskan karbondioksida ke atmosfir dengan menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batubara, gas bumi dan minyak bumi. Hal ini telah menyebabkan meningkatnya selimut alami dunia, yang menuju kearah meningkatnya suhu iklim dunia, dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi juga mematikan. Greenpeace percaya bahwa hanya dengan langkah pengurangan emisi gas rumah kaca yang sistematis dan radikal dapat mencegah perubahan iklim yang dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah kepada ekosistem dunia dan penduduk yang tinggal didalamnya.
Sebagai sebuah organisasi global berskala internasional, Greenpeace memusatkan perhatian kepada mempengaruhi kedua pihak yaitu masyarakat dan para pemegang keputusan atas bahaya dibalik penambangan dan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil. Sebagai organisasi regional, Greenpeace Asia Tenggara memusatkan perhatian sebagai saksi langsung atas akibat dari perubahan iklim global, dan meningkatkan kesadaran publik tentang masalah yang sedang berlangsung. Greenpeace SEA juga berusaha mengupayakan perubahan kebijakan penggunaan energi di Asia Tenggara di masa depan - yaitu beranjak dari ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil kearah sumber-sumber energi yang terbarukan, bersih dan berkelanjutan.
Taktik Kampanye Iklim dan Energi adalah mengkonfrontasi tantangan yang dimiliki industri berbahan bakar yang berasal dari fosil - terutama, pembangkit listrik pembakar-batubara dan penghasil energi berbasis-nuklir - sementara, di waktu yang sama menyuarakan dan mendorong solusi atas ketergantungan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil. Sebagai contoh, GreenpeaceSEA mempromosikan kebijakan dan proyek yang dapat menghasilkan energi murah berasal dari angin dan energi matahari, dan advokasi terhadap efisiensi energi alternatif.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2 Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas: Utara - Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara Australia, Samudera Hindia. Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik.
Posisi geografis Indonesia terdiri atas letak astronomis dan letak geografis yang berbeda pengertian dan pandangannya.
Letak Astronomis
Letak astronomis suatu negara adalah posisi letak yang berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Garis lintang adalah garis khayal yang melingkari permukaan bumi secara horizontal, sedangkan garis bujur adalah garis khayal yang menghubungkan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Letak astronomis Indonesia Terletak di antara 6oLU – 11oLS dan 95oBT – 141oBT Berdasarkan letak astronomisnya Indonesia dilalui oleh garis equator, yaitu garis khayal pada peta atau globe yang membagi bumi menjadi dua bagian sama besarnya. Garis equator atau garis khatulistiwa terletak pada garis lintang 0o.
Letak geografis
Letak geografis adalah letak suatu daerah atau wilayah dilihat dari kenyataan di permukaan bumi. Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan demikian, wilayah Indonesia berada pada posisi silang, yang mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan iklim dan perekonomian.
Letak Geologis
Letak geologis adalah letak suatu wilayah dilihat dari jenis batuan yang ada di permukaan bumi. Secara geologis wilayah Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif dan rawan terjadinya gempa bumi.
D. PEMERATAAN PEMBAGIAN (INDONESIA TIMUR)
Banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketimpangan distribusi pendapatan atau disebut dengan ketimbangan relatif. Dengan kata lain, para ekonom berpendapat bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.
Menurut para kritikus, pembangunan ekonomi bukan hanya menyebabkan kenaikan dalam ketimpangan relatif, tetapi lebih parah lagi akan membawa pula kemerosotan taraf hidup absolut dari golongan miskin. Dengan kata lain, bukan saja ketimpangan relatif tetapi juga kemiskinan absolut akan bertambah akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hasil-hasil penelitian pertama mengenai hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang dilakukan oleh Prof. Simon Kuznets dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa proses pembangunan ekonomi pada tahap awal pada umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam distribusi pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut.
A. Distribusi Pendapatan
Procovitch pernah menyampaikan beberapa dugaannya tentang sebab-sebab terjadinya kepincangan pembagian pendapatan yakni pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, perkembangan kota desa, dan sistem pemerintahan yang bersifat plutokratis. Beberapa aspek yang telah diduga oleh Procovits pada tahun 1955 dikembangkan oleh Kuznets, yang sampai dewasa ini masih dikenal dengan hipotesa Kuznets, yang menimbulkan kontroversi di kalangan peneliti distribusi pendapatan di berbagai negara. Hipotesa ini menyatakan bahwa hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepincangan pembagian pendapatan pada tahap ini menjadi negatif. Jadi, tahap pertama pembangunan ekonomi akan mengalami tingkat kepincangan pembagian pendapatan yang semakin memburuk, stabil dan akhirnya menurun. Pola perkembangan ini menurut Kuznets tidak terlepas dari kondisi sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Penyebabnya adalah terjadinya konsentrasi kekayaan pada kelompok atas, kurang efektifnya pajak yang progresif, dan terjadinya akumulasi pemilikan modal.
Chiswick menyatakan bahwa dengan meningkatnya pembangunan ekonomi, kesenjangan pembagian penghasilan masyarakat juga meningkat, karena semakin cepat ekonomi berkembang, maka orang mengharapkan hasil yang semakin tinggi dari pendidikannya ; sementara, kesempatan pendidikan sangat terbatas. Tingkat partisipasi penduduk dalam lapangan pekerjaan berkaitan dengan jumlah penduduk muda yang sedang sekolah atau sedang bekerja. Pekerja-pekerja muda yang tingkat pendidikan dan keterampilannya relatif rendah akan memperoleh upah yang rendah pula, dan hal ini akan membuat pembagian pendapatan semakin senjang.
Sebaliknya, jika penduduk muda ini masih tetap menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya, berakibat berkurangnya kelompok penduduk yang berpendapatan rendah sehingga akibat selanjutnya adalah tingkat kesenjangan distribusi pendapatan pun akan menurun. Masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
1. Distribusi pendapatan antar golongan pendapatan atau ketimpangan relatif.
2. Distribusi pendapatan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
3. Distribusi pendapatan antar daerah (regional income disparities).

1. Distribusi Pendapatan Antar Golongan Pendapatan
Jika dilihat dari hasil penelitian SUSENAS dengan menggunakan koefisien Gini, maka akan terlihat bahwa distribusi pendapatan di daerah perkotaan di Jawa lebih buruk daripada daerah di luar Jawa, begitu pula dengan daerah pedesaannya daerah Jawa memiliki tingkat kesenjangan distribusi pendapatan yang rendah bila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa.
2. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan Pedesaan
Menurut Gupta dari World Bank, pola pembangunan Indonesia memperlihatkan suatu urban bias, yaitu pembangunan yang berorientasi ke daerah perkotaan, dengan tekanan yang berat pada sektor industri yang terorganisir, yang merupakan sebab terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih parah lagi di kemudian hari. Menurut Micahel Lipton, seorang ekonom Inggris, urban bias seringkali terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana alokasi sumber-sumber daya lebih banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada pertimbangan pemerataan atau efisiensi. Kembali kita perhatikan penjelasan teori ekonomi yang dualistik tentang terjadi kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara sedang berkembang, maka pertama-tama relavansinya terlihat dalam pola kesenjangan yang berbeda antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Oshima menjelaskan keadaan ini (kesenjangan di desa lebih tinggi dari pada di kota), sebagai hal yang unik. Dia meramalkan kesenjangan tersebut akan lebih lebar jika proses pembangunan pedesaan masih akan berlanjut.
3. Distribusi Pendapatan Antar Daerah
Ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di Indonesia serta penyebaran sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab tidak meratanya distribusi pendapatan antar daerah di Indonesia khususnya.
B. Pemerataan Pembangunan
Jika dilihat dari hasil penelitian dan data-data statistik dalam dasawarsa yang lalu, akan terlihat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi telah berjalan dengan pesat namun pertumbuhan yang pesat ini telah membawa akibat yang mengkhawatirkan, yaitu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih buruk. Meskipun pertumbuhan mampu mengurangi persentase penduduk miskin namun di lain pihak sebagian penduduk miskin menjadi semakin miskin. Dengan demikian, Indonesia belum termasuk kelompok negara-negara berkembang yang telah berhasil dalam menggabungkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan distribusi pendapatan yang makin merata serta pengurangan kemiskinan absolut yang lebih pesat. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk melaksanakan pemerataan hasil-hasil pembangunan harus terus dilakukan oleh pemerintah. Pemerataan berarti suatu pembagian hasil produksi kepada masyarakat yang lebih merata, sehingga dirasakan keadilannya
Untuk mewujudkan pemerataan ini, Indonesia menerapkan “Delapan Jalur Pemerataan”, yaitu :
1. Pemerataan kebutuhan pokok rakyat.
2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan, khususnya melalui usaha-usaha padat karya.
4. Pemerataan kesempatan kerja melalui peningkatan pembangunan regional.
5. Pemerataan dalam pengembangan usaha.
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran penduduk melalui transmigrasi dan pengembangan wilayah.
8. Pemerataan dalam memperoleh keadilan hukum.
Kenyataan bahwa Indonesia belum mampu melaksanakan pemerataan pembangunan mengaharuskan kita untuk juga memikirkan cara lain yang perlu ditempuh agar Indonesia dalam tahun-tahun mendatang lebih berhasil dalam menanggulangi masalah ketimpangan distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan juga adalah strategi pembangunan alternatif yang dapat diterapkan di Indonesia. Jika kita melihat keberhasilan negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, dll dalam menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan yang merata, maka akan terlihat bahwa negara-negara tersebut secara umum telah menerapkan tujuh model pembangunan seperti yang dikemukakan oleh James Weaver, Kenneth Jameson, dan Richard Blue yaitu ;
1. Pembangunan yang mengutamakan penciptaan lapangan kerja.
2. Pembangunan yang mengutamakan penyaluran kembali investasi.
3. Pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh penduduk.
4. Pembangunan yang mengutamakan pengembangan sumber-sumber daya manusia.
5. Pembangunan yang mengutamakan perkembangan pertanian.
6. Pembangunan yang mengutamakan pembangunan pedesaan terpadu.
7. Pembangunan yang mengutamakan penataan ekonomi internasional baru.
Lima puluh satu tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Sukarno-Hatta, masyarakat Indonesia banyak mengalami perubahan perubahan sosial antara lain dibidang ekonomi yang secara nasional melalui indikator pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka relatif tinggi yang sekaligus membawa dampak terhadap aspek aspek kehidupan masyarakat. Indikator pembangunan lain yang juga meningkat pesat adalah hutang luar negri, defisit transaksi barang dan jasa, kesenjangan sosial antara kaya-miskin/kota-desa/Jawa-LuarJawa/pertanian-industri, meningkatnya korupsi/kolusi, penggusuran2 tanah, kerusakan lingkungan dan tindakan2 represif terhadap gerakan protest yang tidak bersenjata. Untuk menilai kinerja perubahan perubahan tsb. perlu dilihat kembali tujuan proklamasi kemerdekaan dan tujuan negara RI yang tercantum dalam Preamble yang antara lainnya adalah mencapai masyarakat yang adil & makmur serta berlandaskan peri kemanusiaan. Berdasarkan fakta bahwa masih terjadinya tindakan2 kekerasan (mis.peristiwa Ujungpandang & peristiwa 27 Juli yl.), banyaknya orang yang rumah/lahannya tergusur atau para buruh yang tertindas serta masih banyak indikator2 pembangunan yang memberi kesimpulan yang negatif, seyogianyalah praktek2 pelaksanaan pembangunan ditinjau kembali. Berikut ini akan dijabarkan praktek2 pelaksanaan pembangunan dilihat dari aspek sentralisasi-desentralisasi pembangunan daerah di Indonesia.
Dalam GBHN yang merupakan Ketetapan MPR dalam setiap sidang paripurnanya telah berulang kali digariskan bahwa salah satu prioritas utama pembangunan yang dicakup dalam trilogi pembangunan adalah pemerataan (lihat:GBHN 1993). Setelah 5 kali pembentukan MPR, dalam setiap periode legislatifnya, MPR hanya bersidang 2 kali yaitu sidang pada awal pengangkatan dan pada akhir masa jabatan. MPR yang berhak mengadakan sidang istimewa dan memanggil Presiden setiap saat manakala praktek pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan GBHN, selama ini tidak pernah memakai hak istimewanya, sekalipun indikator2 pemerataan antar kelompok masyarakat, antar daerah atau antar IBB dan IBT semakin memburuk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa MPR sebagai lembaga tertinggi tidak mampu mengamankan prioritas pembangunan dan GBHN yang disusunnya.
Dalam melaksanakan GBHN pemerintah Orde Baru menyusun Pelita yang setiap tahunnya dituangkan dalam APBN(Anggaran Pendapatan & Belanja Negara). APBN disusun oleh Bapenas berdasarkan DUP(Daftar Usulan Proyek) yang dikirim oleh Pemda dan Bapeda. Bapenas mempunyai otoritas dalam menyeleksi proyek2 pembangunan (DUP) menjadi DIP (Daftar Isian Proyek) yang selanjutnya diserahkan pada Departemen2 yang bersangkutan dan diteruskan ke Kanwil didaerah TK I & II. Instansi pemerintah didaerah pada hakekatnya perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, karena mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah pusat; DPRD dalam hal ini tidak memiliki fungsi kontrol atas kelangsungan pembangunan daerah.
Proyek2 pembangunan tsb.(DIP) sebahagian besar dibiayai oleh penerimaan dari sektor Pajak Perseroan yaitu penerimaan dari sektor pertambangan (minyak bumi, gas alam, timah, emas, batubara dll), dari pinjaman luar negri, pajak import, Ppn (pajak penjualan), PBB (pajak bumi & bangunan), pajak nilai tambah dan pajak pendapatan. Seperti diketahui bersama bahwa dengan dalih pasal 33 ayat 1&2 UUD 45 pemerintah pusat melalui BUMN menguasai seluruh hasil2 sektor pertambangan. Dengan demikian baik penguasaan hasil bumi dan pajak dari daerah maupun penggunaan dana pembangunan sepenuhnya berada di pemerintahan pusat; dengan perkataan lain dilihat dari penyusunan rencana, penarikan dana serta pengelolaan dana pembangunan, methode pelaksanaan pembangunan di Indonesia berpola sentralisasi.
Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda membangun sarana2 infrastruktur (jalan raya Daendels, rel KA dan pelabuhan2 laut serta infrastruktur kota2 besar) di pesisir Jawa untuk kepentingan2 perdagangan internasional mereka. Dalam masa pemerintahan Bung Karno keadaan tsb. tidak banyak berubah dan pada masa Orde Barupun pembangunan infrastruktur sangat "big city oriented". Pembangunan "industrial Zones" dilakukan dikota2 besar yaitu Jakarta & Surabaya dan prioritas pembangunan dipusatkan pada sektor industri yang relatif padat modal dibandingkan dengan sektor pertanian yang padat karya. Dengan demikian proyek2 PMDN & PMDA terkonsentrasi di dua kota tsb yang menyebabkan arus urbanisasi dari daerah2 pedesaan Jawa ke Jkt & Srby. Pada tahun 1993 Jakarta menerima 53% kredit perbankan dan 47% diterima oleh daerah Indonesia lainnya (lihat:BI, Laporan Statistik & Keuangan Indonesia, April 1994). Pertumbuhan penduduk perkotaan Jabotabek dan Gerbangkertosusilo lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia, sebaliknya pertumbuhan penduduk pedesaan Jawa lebih lambat; proses ini mengakibatkan meningkatnya kesenjangan sosial antara desa-kota di Jawa. Terjadinya aglomerasi atau konsentrasi penduduk di kota2 besar meningkatkan kebutuhan akan infrastruktur kota seperti air bersih, perumahan, perkantoran, pengelolaan sampah, jalan raya, alat transportasi & jasa kesehatan. Tidak heran jika harga2 komoditi diatas miningkat pesat, sekalipun pemerintah selalu mengumumkan bahwa laju inflasi kurang dari 10% pertahun. Jika pola pelaksanaan pembangunan nasional terus berjalan seperti sekarang hanya memicu pertumbuhan ekonomi, kesenjangan2 beserta problematiknya akan bertambah parah dan kelestarian dari sistim pembangunan itu sendiri akan sirna. Agregasi perkembangan ekonomi disetiap daerah di indonesia adalah pembangunan nasional, bukan sebaliknya!. Meningkatnya hutang luar negri dan defisit transaksi barang dan jasa menunjukkan buruknya effisiensi perekonomian suatu negara. Oleh karena itu seyogianyalah pola pelaksanaan pembangunan ditinjau kembali sehingga effisiensi dan pemanfaatan potensi daerah2 bagi pembangunan nasional dapat dicapai.
Pembangunan yang egaliter hendaknya mengacu pada prinsip2 subsidiaritas dan prinsip accountability, yang sebenarnya tidak lain daripada prinsip demokrasi. Prinsip subsidiaritas ialah suatu prinsip pengorganisasian yang desentralistis dimana segala sesuatu yang bisa diselenggarakan oleh rakyat setempat (lokal), tidak boleh lagi diatur oleh pemerintah pusat. Pemberian hak otonom kepada daerah seharusnya tidak sekedar pemberian status (diatas kertas) tapi juga diberi hak & wewenang untuk memanfaatkan sumberdaya lokal untuk kepentingan penduduk setempat. Selain itu prinsip accountability juga harus diterapkan, karena prinsip inilah yang menjamin kedaulatan rakyat, dimana rakyat setiap saat melalui perwakilan atau organisasi kepentingan mereka berhak dan berwenang untuk mengontrol jalannya proses pelaksanaan pembangunan yang menyangkut kehidupan mereka. Pemerataan pembangunan atau yang disebut trickle down effects tidak akan datang begitu saja jika tidak ada mekanismenya. Hanya organisasi2 masyarakat (dalam hal ini lembaga2 kenegaraan) yang berazaskan kedua prinsip diatas yang dapat menghasilkan pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan segenap lapisan masyarakat. Dengan demikian dua tatanan penting bagi proses pembangunan yaitu pertumbuhan yang seimbang (balanced growth) dan pemerataan pembangunan (baik sektoral maupun interregional) bagi segenap lapisan masyarakat dapat dicapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar